ETIKA DALAM KOMUNIKASI BERMEDIA
disusun untuk menyelesaikan tugas presentasi pada mata kuliah
Etika
Komunikasi
oleh :
kelompok XI
Alkausarni : 411106225
Ikhsanun Fahmi : 4111062
Raiful Mudassir : 4111062
oleh :
kelompok XI
Alkausarni : 411106225
Ikhsanun Fahmi : 4111062
Raiful Mudassir : 4111062
Institut Agama Islam Negeri ar-Raniry
Fakultas Dakwah
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
Darussalam, Banda Aceh
2012
Pengertian dan Signifikansi Etika dalam Media dan
Komunikasi Massa*
Joseph Pulitzer, Bapak pers AS,
pernah mengatakan bahwa “surat kabar tanpa etika bukan hanya tak mampu melayani
khalayak, melainkan justru akan berbahaya bagi khalayak”.[i] Media sebagai
komunikasi massa tidak terlepas dari interaksinya dengan khalayak; publik
sangat berhubungan dan bergantung terhadap media yang dikonsumsi oleh orang
banyak. Apa yang disajikan oleh media atas perannya sebagai media komunikasi
massa (ditujukan kepada orang banyak) sangat dapat mempengaruhi sikap dan
perilaku massa itu sendiri.penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh
media dapat berdampak buruk bagi masyarakat. Oleh sebab itu, etika menjadi
salah satu poin penting untuk menjaga media dan para pelakunya berada dalam
jalur yang semestinya.
Nurudin dalam Pengantar
Komunikasi Massa (2007: 239 – 270) menjabarkan secara lengkap terkait
etika komunikasi massa. Nurudin dengan cermat memulai penjelasannya dengan
menjabarkan latar belakang mengapa kita harus belajar tentang etika, perbedaan
serta hubungan antara etika dengan etiket dan moral, serta menjelaskan secara
rinci tentang pembagian etika dalam komunikasi massa.
Latar belakang dan
pengertian etika
Mengutip Burhanudin
Salam (2000), Nurudin memulai penjelasannya dengan memberikan definisi moral,
yang berasal dari Bahasa Lati ‘mores’, berasal dari kata ‘mos’ yang berarti
kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral bisa diartikan sebagai ajaran
kesusilaan, dan dengan demikian moralitas berarti hal mengenai kesusilan; moral
juga berarti ajaran tentang baik buruknya perbuatan. Sementara itu, etika
berasal dari Bahasa Latin juga, yaitu ‘ethic’, dan dalam Bahasa Gerik ‘ethikos’ yang diartikan
sebagai a body of moral principles or values). ‘Ethic’ berarti
kebiasaan, habit, atau custom. Dengan memahami
penjelasan Burhanudin tersebut, Nurudin menjelaskan tentang etika sebagai
berikut:
“Etika dengan
sendirinya bisa diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau
tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat. Etika
sendiri sering digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti, dan akhlak.”
(Burhanudin Salam, 2000, dalam Nurudin, 2007: 242).
Nurudin juga meninjau
beberapa pengertian tentang etika dari beberapa pakar, misalnya seperti K.
Bertens (1994) yang menjelaskan bahwa etika sebagai “ilmu yang membahas tentang
moralitas atau tentang manusia sejauh yang berkaitan dengan moralitas.” Prof.
I. R. Poedjowijatna (1986) menjelaskan “sasaran etika khusus kepada
tindakan-tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja… etika berbeda dengan
ilmu manusia… objek materi etika tetap manusia, tetapi objek formalnya adalah
tindakan yang dilakukan manusia.” Sementara itu, Frans Magnis-Suseno (2001)
membagi etika menjadi umum dan khusus: “etika umum mempertanyakan
prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedangkan
etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan kewajiban
moral manusia dalam berbagai lingkup kehidupannya.”
Lebih lanjut, Nurudin
menjelaskan bahwa K. Bertens memilah-milah definisi etika dalam tiga hal,
yaitu:
1. Kata etika bisa dipakai
dalam arti nilai-nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, misalnya jika orang
berbicara tentang “etika suku Indian”, “etika agama Budha”, “etika
Protestan”, maka tidak dimaksudkan “ilmu”, melainkan nilai mengenai benar dan
salah yang dianut oleh golongan tertentu. Secara singkat, arti ini bisa
dirumuskan sebagai “sistem nilai”.
2. Etika berarti juga
kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik
(misalnya kode etik periklanan, kode etik jurnalistik, kode etik DPR, dan
lanin-lain).
3. Etika termasuk ilmu
tentang yang baik atau yang buruk. Etika baru menjadi ilmu, bila
kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap
baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat sering kali
tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan
metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Kemudian, berdasarkan
penjelasan Bertens itu, dapat dibedakan antara etikadengan etiket, yaitu
sebagai berikut:
·
Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus
dilakukan manusia. Di antara beberapa cara yang
mungkin, etiket menunjukkan cara yang tepat, artinya cara yang
diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu. Misalnya,
menyerahkan buku dengan tangan kiri pada orang tua. Namun
demikian, etika tidak terbatas pada cara yang dilakukannya suatu
perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu
sendiri. Etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh
dilakukan atau tidak. Mengambil barang milik orang lain tanpa izin tidak pernah
diperbolehkan. “Jangan mencuri” merupakan norma etika. Norma etis tidak
terbatas pada cara perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu
sendiri.
·
Etiket hanya berkalu dalam pergaulan. Bila tidak
ada orang lain yang hadir atau tidak ada saksi mata,
maka etiket tidak berlaku. Sebaliknya, etika selalu
berlaku, termasuk tidak ada saksi mata sekali pun. Etika tidak
tergantung pada hadir tidaknya orang lain. Larangan untuk mencuri selalu
berlaku, entah ada orang lain atau tidak. Barang yang dipinjam harus
dikembalikan meskipun pemiliknya sudah lupa.
·
Etiket bersifat relatif. Hal yang dianggap tidak
sopan pada suatu kebudayaan, belum tentu berlaku untuk kebudayaan
lain. Etika jauh lebih absolut. “Jangan mencuri”, “jangan berbohong”,
“jangan membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak dapat ditawar atau
diberi dispensasi. Memang benar ada kesulitan cukup besar mengenai kabsolutan
prinsip-prinsip etis. Yang jelas, etiket lebih bersifat relatif.
·
Jika kita berbicara tentang etiket, kita
hanya memandang manusia dari segi lahiriah, sedangkan etika
menyangkut manusia dari dalam.Bisa saja orang tampil dengan “musang berbulu
domba”, dari luar sangat sopan dan halus, tetapi di dalam penuh dengan
kebusukan. Banyak penipu berhasil dengan maksud jahat mereka, justru
penampilannya begitu halus dan menawan hati sehingga mudah meyakinkan orang
lain. Tidak merupakan kontradiksi, jika seseorang selalu berpegang pada etiket
dan bersifat munafik, sebab seandainya dia munafik, hal itu berarti ia tidak
bersikap etis.
Dari pendapat itu,
Nurudin mengatakan bahwa etika dapat dikatakan sebagai bagian dari filsafat,
sedangkan moral bagian dari etika. Louis O. Kattsoff, dalamElement of
Philosophy, menjelaskan bahwa “etika merupakan penyelidikan filsafat
tentang bidang moral, yaitu tentang kewajiban manusia serta yang baik dan yang
buruk.”
Hal yang serupa
disampaikan oleh Prof. Adrianus Meliala[ii] bahwa “dalam
idealnya, penentuan mana yang baik dan benar itu harus melibatkan teman
diskusi, yaitu kolega (rekan atau teman sejawat), yang berasal dari kata colleague,
merujuk pada kata collegiums (forum) dan sama halnya
dengan college. Universitas sebagai college merupakan
tempat berkumpulnya kaum intelektual yang merumuskan mana yang baik dan benar,
dan dia adalah satu collegiums,satu forum bersama yang sama rata,
tidak ada otoritas yang lebih tinggin dari pada kesepakatan bersama itu.
Kemudian, hasil dari kesepakatan oleh orang-orang yang berasosiasi itu
menghasilkan suatu rumusan etika. Dengan demikan, etika diartikan sebagai
kualitas yang menjadi standar penilaian berjalan atau tidak berjalannya satu
moral.”
Pada tulisannya ini,
Nurudin juga menjelaskan mengapa penting bagi kita untuk mempelajari etika,
terkait dengan media dan komunikasi massa. Beberapa alasannya adalah sebagai
berikut:
1. Semakin berkembangnya
jaman dan semakin pluralnya masyarakat sekarang ini akan berdampak pada
kepentingan individu yang kian tajam. Perkembangan teknologi komunikasi
khususnya berdampak pada pemupukan sifat individu manusia. Karena manusia, pada
dasarnya, adalah makhluk sosial, etika menjadi “pegangan” untuk hidup
berdampingan dalam masyarakat plural. Tanpa etika, manusia akan menjadi
“pemangsa” sesamanya.
2. Romo Magnis-Suseno
menjelaskan bahwa etika diperlukan kalangan agamawan yang di satu pihak
menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, di pihak lain
sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri
dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang berubah. Etika dibutuhkan sebagai
ajaran yang ‘netral’ di antara ajaran-ajaran berbagai agama yang fungsinya
dapat meredam konflik beragama.
3. Etika menjadi penting
agar di dalam masyarakat tercipta harmoni dan manusia mengetahui tugas, hak dan
kewajibannya masing-masing. Dengan adanya etika, sebagai “nilai masyarakat”,
akan menjadi penyeimbang “nilai individu” dalam masyarakat modern yang
cenderung hidup dalam individualisme yang disertai komepetisi hidup yang
semakin berat.
4. Pertumbuhan yang begitu
besar dari media massa telah menjadikannya tidak sekadar mempengaruhi perubahan
masyarakat, tetapi juga telah menjadi agen perubahan itu sendiri. Media massa
juga memiliki peran untuk menentukan “baik tidaknya” masyarakat. Apa yang
ditampilkan media massa akan diikuti oleh khalayak. Jika media massa tidak memiliki
etika, maka akan tercipta masyarakat yang “bobrok”. Oleh sebab itu, etika akan
memberikan “aturan main” terkait apa yang bisa dilakukan dan tidak bisa
dilakukan oleh media massa. Tanpa etika, media massa akan menjadi liar dan
mengancam eksistensi manusia.
5. Dalam media terdapat
berbagai pemangku kepentingan (pemilik modal, pemimpin redaksi, pemerintah,
masyarakat, dan lain sebagainya), yang memiliki keinginan dan kepentingan yang
berbeda satu sama lain sehingga berpotensi memunculkan conflict of
interes (konflik kepentingan). Aturan konkret sangat dibutuhkan untuk
membatasi apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Di sini etika memainkan
perannya; dia menjadi wadah dan tolak ukur dalam mengatur “pergaulan” antara
media massa, pemerintah, dan masyarakat.
Lebih lanjut, Nurudin
memaparkan alasan mengapa etika menjadi ukuran wajib dalam komunikasi massa.
Hal itu disebakan:
“Komunikasi massa dalam
prosesnya meibatkan banyak individu, sementara masing-masing individu mempunyai
sifat khas berbeda yang menyebabkan berbeda pula dalam kepentingannya.
Kepentingan yang berbeda itu akan “bertarung” dalam proses komunkasi massa.
Tanpa ada etika, “pertarungan” akan menjadi perilaku mau menang sendiri yang
buntutnya adalah kerusakan. Etika mengarahkan bagaimana sebuah isi media massa
ditulis atau disiarkan. Bagaimana iklan yang sesuai etika dan lebih berguna
bagi masyarakat. Bagaimana tayangan sinetron dan film membantu kemajuan
masyarakat dan bukan merendahkannya. Bagaimana pula buku itu tidak sekadar
menghibur, tetapi juga memberikan informasi dan pendidikan. Intinya, bagaimana
isi pesan media massa itu “sesuai” dengan harapan ideal semua pihak. Memang
sulit dan subjektif, tetapi bukan berarti tidak perlu diindahkan.” (Nurudin,
2007: 251)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar