Kamis, 19 Desember 2013

Muliani Sipenjahit Babun Najah


Muliani Sipenjahit Babun Najah



Suara bising kendaraan yang sedang berlalu lalang terdengar sangat jelas di telinga ketika aku memasuki Simpang Tujuh Ulee Kareng. Dari arah Lambuk, aku menuju ke Ie Masen sore itu. Dengan lambat aku mengendarai sepeda motor sambil menikmati angin sore dan melihat-lihat bangunan yang ada di seputaran  Ie Masen.
Mataku tertuju pada satu bangunan yang berada tepat di samping Pesantren Babun Najah. Aku menghentikan motor persis di depan sebuah bangunan itu. Terlihat beberapa anak gadis yang sedang mengayuhkan kaki memainkan mesin jahit. Bangunan yang bertuliskan “An-Najah Taylor” itu merupakan bangunan yang masih berada dalam naungan Pesantren Babun Najah. Senyuman seorang wanita terlempar kepadaku yang sedang memperhatikan bangunan yang diisi oleh alumni Babun Najah itu.
Muliani Ayyub, begitu yang keluar dari mulutnya ketika aku berkenalan dengannya. Parasnya yang cantik dengan kulit putih, serta hidung yang mancung seperti orang-orang Timur Tengah mengingatkanku pada seorang artis, Kirana Larasati. Cewek yang lahir di Pulo Aceh ini adalah Alumni Babun Najah dan Mahasiswa UIN Ar-Raniry. Ia merupakan salah satu korban selamat tsunami 9 tahun lalu. Ketika peristiwa itu ia lari ke gunung bersama adiknya. Kedua orangtua dan 3 saudara yang dicintainya telah dijemput oleh malaikat pada kejadia itu. Yang tinggal hanya kakak, abang dan adik perempuannya. Dari 7 bersaudara kini hanya tinggal ber-empat saja. Sebelum ke Banda Aceh, mereka tinggal di gunung selama tiga hari dengan memakan beras yang telah bercampur dengan air laut.
Peristiwa Tsunami itu memberi hikmah yang penting bagi Muliani karena ia dipertemukan dengan Pesantren Babun Najah yang memberikan banyak pelajaran baginya.
 “Saya ke Banda Aceh (Babun Najah) itu karena Tsunami. Kampung saya habis semua, ngga ada yang tinggal. Terus saya ke Banda Aceh karena ada sekolah yang menampung anak-anak korban tsunami.” Ucap cewek yang akrab disapa Meulu ini.
Sikap semangat terpancar dari wajahnya yang selalu tersenyum ketika aku mengajukan pertanyaan mengenai dirinya dan tempat kerjanya itu (An-Najah Taylor). Tak ada sikap yang menunjukkan kalau dia itu takut mengarungi kehidupan di dunia ini walaupun tanpa kedua orangtua. Senyum yang terpancar dari wajahnya menunjuk kalau dia selalu optimis menghadapi ujian dari Allah, karena ia yakin kalau Allah akan memberikan yang terbaik untuknya. Di setiap shalatnya, ia tidak lupa menitip doa kepada Allah agar orang-orang yang telah meninggalkannya itu mendapatkan ampunan dan dipertemukan kembali di syurga kelak.
Untuk membiayai kuliahnya, ia tidak perlu meminta kepada abangnya atau orang lain. Dari hasil kerjanya sebagai penjahit di An-Najah Taylor, ia sudah mampu membiayai perkuliahannya. Satu helai baju yang di jahit, ia mendapatkan 3.600 rupiah. Bahkan kalau pada bulan masuk sekolah ia bisa mendapatkan 1 juta selama satu bulan. Yang paling membawa berkah baginya adalah di bulan Ramadhan. Di bulan ini ia bisa mendapatkan 2-3 juta.
“biasanya kalau satu baju saja kami dapat 3.600. kalau lengkap sama celana kami dapat 60.000 ribu, lebihnya ke pihak pesantren, karena pesantren yang mengelola taylor ini.” Ungkap cewek yang kuliah di fakultas Dakwah dan Komunikasi ini.
Selama 8 tahun tinggal di pondok itu Muliani banyak mendapat pelajaran dan kenangan yang tak dapat ia lupakan. Bahkan, ia lebih memilih tetap tinggal di pesantren yang dipimpin oleh Abu Madinah itu daripada ngekost seperti beberapa teman-teman yang lain. Ia telah menganggapnya seperti rumah kedua. Kalau seandainya ngekost pasti tak akan ada orang yang akan mengingatkannya ketika ia lalai dalam hal ibadah. Beda halnya di Babun Najah, ia dapat melaksanakan shalat berjamaah, kerja sampingan, tempat tinggal bebas biaya dan banyak manfaat lain yang ia dapatkan di sana.
“Karena Muli pikir lebih bermanfaat tinggal disini (Babun Najah). Shalat bisa berjamaah, terus bisa cari rezeki sampingan juga.” Tuturnya.
Taylor Najah merupakan tata usaha yang berbentuk jasa penjahitan masih berada dalam naungan pesantren Babun Najah yang telah didirikan sejak 6 tahun. Tujuan utamanya adalah untuk menambah pendapatan pesantren. Selain itu tata usaha ini juga dijadikan sebagai media pembelajaran santri untuk agar memiliki skill dalam hal menjahit. Selain An-Najah Taylor, ada juga beberapa tata usaha yang telah didirikan oleh pesantren ini, seperti An-Najah Fotocopy dan Galery An-Najah.
Pengelola An-Najah Taylor, Zatul Fikarshi mengatakan bahwa selain alumni Babun Najah, tata usaha ini juga menerima karyawan lain yang bukan alumni Babun najah asalkan sanggup mengikuti segala peraturan yang ada.
“siapa aja boleh kerja di sini kalau dia mau. Ngga mesti harus alumni. Tapi harus siap dan patuh sama peraturan yang telah ditetapkan.” Ujarnya.
An-Najah Taylor ini adalah batu loncatan bagi Muliani untuk mengembangkan dan memberikan pengajaran kepada anak-anak Pulo Aceh tentang berbagai ilmu yang telah ia dapatkan selama berguru di pesantren Babun Najah.
Di Malaysia ia mempunyai seoraang ayah angkat yang sangat sayang kepadanya. Pernah suatu hari di tahun 2007 ia dibawa ke Malaysia oleh ayah angkatnya dan mengajak untuk tinggal serta menetap di sana. Semua biaya hidup ditanggung oleh ayahnya itu. Tapi ia tidak mau. Ia merasa memiliki tanggung jawab terhadap kampung halamannya. Ia ingin membangun kembali daerahnya.
Walaupun ia tak mau menerima tawaran itu, tetapi ayah angkatnya terkadang masih juga mengirimkan paket berupa uang belanja kepadanya. Dan Insya Allah di tahun 2014 ini ia diundang ke Malaysia untuk mengikuti acara pernikahan anak ayah angkatnya itu kalau jadwal kuliah tidak mengganggu.
“Insya Allah bulan Januari 2014 ini saya akan ke Malaysia untuk memenuhi undangan pernikahan anak ayah angkat saya. Doain ya supaya jadwal kuliah ngga mengganggu.” Ucap cewek yang lahir pada 10 Maret 1993 itu.
Sekarang ia hanya ingin cepat-cepatnya menyelesaikan kuliah. Ia tidak sabar lagi ingin pulang untuk membangun Pulo Aceh menjadi daerah yang maju dan tidak tertinggal lagi seperti sekarang ini. Padahal kalau daerah itu diperhatikan, pasti bisa menjadi ladang pendapat pemerintah. Panorama alam yang masih natural dengan keindahan pantai pasir putihnya, hasil laut yang sangat kaya, pelabuhan bebas yang mulai rampung, serta mercusuar dan penjara bawah tanah peninggalan masa kolonial Belanda dapat dijadikan sebagai alternatif daya pikat turis baik lokal mau mancanegara.
       
Muliani adalah salah satu anak emas yang dimiliki Pulo Aceh. Mudah-mudahan semangat dan kerja keras yang ia bangun sekarang dapat mengumpulkan anak-anak Pulo Aceh untuk membangun dan mengembangkan Pulo Aceh kelak. Walaupun perempuan, tapi ia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa ia mampu melakukan apapun di dunia ini.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar